TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Agar dapat membedakan penelitian Ragam Bahasa Komunikasi
Jual Beli Kambing di Pasar Tradisional Karangpucung Kabupaten Cilacap (Kajian
Sosiolinguistik) dengan penelitian sebelumnya, maka penulis meninjau empat
buah hasil penelitian Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Purwokerto sebagai
berikut.
1.
Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Sapi di Pasar Petambakan
Kecamatan Madura Kabupaten Banjar Negara oleh Eko Nugroho, tahun 2004.
1)
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah teknik sadap sebagai teknik
dasar, dan sebagai teknik lanjutannya menggunakan teknik SBLC (Simak Bebas
Libat Cakap), teknik rekam dan teknik cacat. Data kemudian dianalisis
berdasarkan konteks tuturan, register norma tutur, dan gejala bahasa.
2)
Hasil yang diperoleh
1). Penggunaan bahasa pada
transaksi jual beli sapai di pasar Petambakan menggunakan bahasa bahasa Jawa dialek
Banyumasa yaitu jawa ngoko dan krama.
2). Norma tuturan
terdiri dari harga, jenis bentuk, usia dan, warna.
3). Register yang
banyak digunakan yaitu register harga atau angka.
2.
Ragam Bahasa Para Pembuat Tempe (Kedelai) di Desa
Bantarbolang Kabupaten Pemalang (Kajian Semantik) oleh Nur Septi Indriyani, tahun
2007.
1) Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode Simak Libat Cakap (SLC)
karena peneliti terlibat langsung dengan sumbernya. Selanjutnya data
diklasifikasikan sesuai dengan pemakaian bentuk-bentuk ragam bahasa yang
meliputi ragam bahasa tempat, bahan, alat, proses pembuatan, jenis kegiatan dan
jenis-jenis tempe.
b. Hasil yang
diperoleh berupa:
1). Ragam bahasa umum, yang meliputi: Ragam berdasarkan
tempat, berdasarkan bahan, berdasarkan alat, proses pembuatan, jenis kegiatan,
jenis tempe.
2). Ragam bahasa umum pembuat tempe, yang berupa: Ragam
berdasarkan tempat, berdasarkan bahan, berdasarkan alat, proses pembuatan,
jenis kegiatan, jenis tempe.
3.
Ragam Bahasa Transaksi
Jual Beli Daging Sapi di Pasar Pagi Pemalang Kajian Sosiolinguistik oleh Septiaji Poniati,
tahun 2007.
1)
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan teknik Simak Bebas Libat
Cakap (SBLC), dilanjutkan dengan teknik rekam dan teknik catat. Proses analisis
didasrkan pada ciri-ciri ragam bahasa, makna istilah dan tingkat tutur antara
pedagang dan pedagang, pedagang dengan pembeli dalam komunikasi jual beli
daging sapi di Pasar Pagi Pemalang.
b. Hasil yang diperoleh berupa:
1)Tuturan pedagang dengan pedaganng.
2). Ciri-ciri transaksi jual beli.
3). Wacana transaksi jual beli antara penjual dan pembeli
daging sapi, yaitu berupa bahasa pendek ringkasa dan tidak lengkap.
4). Faktor yang mendasari terbentuknya transaksi jual beli
antara pedagang dengan pembeli dari segi organisasi, tujuan transaksi dan sifat
hubungan.
4.
Ragam Bahasa Komunikasi Jual Beli Sandang di Pasar Kota
Banjar Negara Kajian Sosiolinguistik oleh Mahwar Setio Budi, tahun 2008.
a. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode simak dan tehnik sadap
merupakan teknik dasarnya. Sebagai teknik lanjutan menggunakan teknik Simak
Bebas Libat Cakap (SBLC). Proses analisis didasarkan pada ragam bahasa, wujud
tingkat tutur, penjual dan pembeli Sandang di Pasar Kota Banjarnegara dan
sebagai pijakan yang pertama teorinya membahas kajian sosiolinguistik.
b. Hasil yang diperoleh berupa:
1)
Tuturan penjual dan pembeli
2)
Ciri–ciri ragam bahasa
3)
Pola tuturan penjual dan pembeli
4)
Bentuk tuturan penjual dan pembeli
5)
Register
Berdasarkan keempat hasil penelitian tersebut, dalam
penelitian mengenai ragam bahasa dengan penelitian ini yang berjudul “ Ragam
Bahasa Komunikasi Jual Beli Kambing di Pasar Tradisional Karangpucung Kabupaten
Cilacap (Kajian Sosiolinguistik)” memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya
terletak pada metode yang digunakan pada tahapan pengumpulan data yaitu
menggunakan metode simak yang terdiri dari: teknik sadap, teknik rekam, dan
teknik catat libat cakap. Sedangkan perbedaanya pada hasil analisis data disesuaikan dengan
lingkungan, keadaan dan masalah yang terdapat pada objek. Perbedaan yang lain terletak
pada landasan teori karena disesuaikan dengan kebutuhan analisis, data, dan
sumber data, letak geografis tempat objek penelitian dan bahasa objek yang
diteliti. Pelaku jual beli kambing sebagai sumber data yang terlibat langsung dalam proses tawar menawar yang
diperoleh pada bulan Januari 2010.
Dengan demikian dengan adanya perbedaan tersebut maka
telah membuktikan bahwa penelitian ini berbeda dengan peneliti-peneliti
sebelumnya.
B. Landasan Teori
1. Masyarakat Bahasa
Chaer dan Leoni Agustina, (2004: 36) mengemukakan yang
disebut masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan
bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam
menggunakan bentuk-bentuk bahasa.
Fishman (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 36)
masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidaknya
mengenal satu variasi bahasa serta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat
Karangpucung, Majenang, kabupaten Cilacap Barat merupakan masyarakat bahasa
atau masyarakat tutur, karena sedikitnya telah mengusai tiga bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa
Jawa, dan bahasa Sunda beserta norma-normanya. Pemakaian ketiga bahasa tersebut
juga mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.
2. Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang digunakaan manusia bisa juga dikategorikan sebagai alat penghubung manusi
dalam berkomunikasi dan berinteraksi denagan lawan bicara. Bagian-bagian yang
terdapat dalam bahasa yaitu yang meliputi: pengertian bahasa, fungsi bahasa,
jenis bahasa, dan ragam bahasa.
a.
Pengertian Bahasa
Menurut Kridalaksana (dalam Aslinda dan Leni Safyahya,
2007: 1) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang abriter yang dipergunakan
dalam masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri.
Bahasa dipergunakan manusia dalam segala aktivitas
kehidupan. Dengan damikian, bahasa
merupakan hal yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Recing Koen dan
Pateda (dalam Aslinda dan Leni Safyahya, 1993: 5) menyatakan, bahwa hakekat bahasa
bersifat mengerti, individual, kooperatif dan sebagai alat komunikasi.
Berdasarkan beberapa pandangan mengenai bahasa tersebut maka dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi
dan interaksi sosial di dalam suatu masarakat yang berwujud lambang bunyi atau
simbol yang bersifat abriter, konvsional dan bermakna yang dapat
membentuk identitas pemakainya serta mengembangkan budaya suatu masyarakat
tertentu.
b.
Fungsi Bahasa
Menurut Soeparno, ( 2002: 5) fungsi umum bahasa adalah sebagai
alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan
antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan
bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan
alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada
pula bahasa tanpa masyarakat.
Menurut Chaer dan Leoni Agustina, (2004: 14) fungsi bahasa
secara tradisional kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan di jawab bahasa
adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,dalam arti, alt
untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan.
Dari pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulaan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan berinteraksi
yang dilakukan manusia pada umumnya.
1)
Komunikasi
a)
Pengertian Komunikasi
Menurut Uchjana dan effendi, (2007: 9) istilah komunikasi
atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio,
dan bersumber dari kata kommunis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah
sama kata. Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam
bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada
kesamaan makna apa yang sedang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan
dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Akan tetapi,
pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasar, dalam arti kata
bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak
yang terlibat.
Chaer dan Leonie
Agustina, (2004: 17) mengutip dari webster menyebutkan komunikasi adalah proses
pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah
laku yang umum. Pengertian komunikasi itu paling tidak melibatkan dua orang
atau lebih, dan proses pemindahan pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan
cara-cara komunikasi yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Chaer dan Leonie Agustina, (2004: 17) dalam setiap
komunikasi harus ada komponen pokok, yaitu:
(1)
Partisipan, yaitu pihak yang berkomunikasi,
pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan. Pihak yang terlibat dalam
proses komunikasi tentunya ada dua orang atau ada dua kelompok orang, yaitu pertama
yang mengirim (sender) informasi, dan kedua yang menerima (receiver)
informasi.
(2) Informasi yang dikomunikasikan.
Informasi yang dikomunikasikan tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan,
atau pesan.
Alamat yang digunakan dalam komunikasi. Alat yang digunakan dapat berupa
simbol atau lambang seperti bahasa.
Dengan demikian proses komunikasi akan berjalan dengan
lancar dan bahasa sebagai media komunikasi apa bila dalam interaksi ditandai
adanya umpan balik dari penerima pesan (receiver) atau lawan tutur kepada
pengirim pesan (sender) atau penutur dan komunikasi menurut jenisnya
dibagi menjadi dua macam yaitu verbal dan nonverbal.
b)
Jenis Komunikasi
Menurut Chaer dan Leonie Agustina, (2004: 20) membagi
jenis komunikasi menjadi dua macam:
(1)
Komunikasi verbal
Komunikasi verbal atau komunikasi bahasa adalah komunikasi
yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi
ini tentunya harus berupa kode yang sama-sama dipahami oleh pihak penutur dan
pihak pendengar yaitu yang berupa bahasa tulis dan bahasa lisan.
(2) Komunikasi NonVerbal
Komunikasi nonverbal
adalah komunikasi yang menggunakan alat, seperti bunyi peluit, cahaya (lampu,
api), isyarat bendera (semaphore).
2)
Interaksi
Interaksi
merupakan bagian dari fungsi bahasa. Di sebuah masyarakat, lingkungan
pendidikan bahkan di Pasar sekalipun manusia sering melakukan interaksi. Dengan
adanya interaksi bahasa tersebut berarti
manusia melakukan sebuah kontak sosial
dan komunikasi.
Menurut Soekanto, (2005: 64) bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan antara
orang-orang, perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial
dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bicara
atau bahkan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu, adanya
kontak sosial dan adanya komunikasi. kontak sosial dapat bersifat positif atau
negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, kontak sosial
yang bersifat negatif pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak
menghasilkan interaksi sosial.
Apabila seorang pedagang menawarkan barang dagangannya kepada
calon pembeli serta diterima dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya jual
beli, maka kontak tersebut bersifat positif. Lain halnya, apabila pembeli
tampak bersungut-sungut sewaktu ditawarkan barang dagangan maka, kemungkinan besar tidak akan terjadi jual
beli. Dalam hal ini terjadi kontak negatif yang menyebabkan tidak
berlangsungnya interaksi sosial. Dalam interaksi mencakup tiga hal, yaitu
diglosia, alih kode, dan campur kode.
a)
Diglosia
Didalam masyarakat bahasa
khususnya di daerah Perbatasan Jawa Tengah Jawa Barat bahasanya sangat bervaiativ.
Sebagian daerah tertentu ada yang menggunakan bahasa Sunda sebagian daerah lain
ada yang menggunakan bahasa Jawa bahkan ada pula yang menggunakan bahasa Indonesia.
Menurut Ferguson (dalam
Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 92) menyatakaan keadaan suatu masyarakat dimana
terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing
mempunyai peranan tertentu disebut diglosia. Ferguson juga membagi pengertian
diglosia menjadi tiga yaitu:
(1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif
stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek utama (lebih tepat, ragam-ragam
utama) dari satu bahasa terdapat ragam lain.
(2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa
dialek biasa, dan bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.
(3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu
memiliki ciri:
(a)
Sudah sangat terkodifikasi.
(b)
Gramatikalnya lebih komplek.
(c)
Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan
dihormati.
(d)
Dipelajari melalui pendidikan formal.
(e)
Digunakan dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal.
(f)
Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk
percakapan sehari-hari.
Kriteria diglosia yang sangat penting menurut Ferguson (dalam
Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 93) adalah bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu
bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi dan yang kedua disebut dialek
rendah.
Dengan demikian
bahwa masyarakat Karangpucung Kabupaten Cilacap khususnya para penjual pembeli
kambing mereka merupakan masyarakat bahasa (masyarakat tutur) yang memiliki
variasi bahasa dan ini bisa mengakibatkan timbulnya bahasa campuran (campur
kode) dan peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain atau biasa disebut
alih kode.
b)
Alih kode
Menurut Appel (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 106)
alih kode adalah gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi yang disebabkan oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar
dan sengaja dengan sebab tertentu.
Thelander (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 115)
menyatakan bahwa alih kode adalah apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi
peralihan dari suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain.
Fasold (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 115)
berpendapat bahwa alih kode adalah apabila suatu klausa jelas-jelas memiliki
struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur
gramatikal bahasa lain.
Menurut Aslinda dan
Leni Syafyahya, (2007: 85) gejala alih kode disebabkan oleh beberapa faktor:
(1) Siapa yang berbicara,
(2)
Dengan bahasa apa,
(3) Kepada siapa,
(4) Kapan,
(5) Dengan tujuan apa.
Dalam berbagai keputusan linguistik, secara umum tejadinya
penyebab alih kode ialah:
(1)
Pembicara/penutur
(2)
pendengar/lawan tutr
(3)
Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga
(4)
perubahan dari formal ke informal
(5)
perubahan topik pembicaraan
c)
Campur kode
Menurut Thelander (dalam Chaer dan Leoni Agustina,
2004:115) campur kode adalah apabila didalam suatu peristiwa tutur,
klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa dan frase
campuran (hybrid clauses, hybrid prases), dan masing-masing klausa atau
frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri.
Fasold (dalam Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 115)
menyatakan bahwa campur kode adalah apabila seseorang menggunakan satu kata
atau frasa dari suatu bahasa.
3)
Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atu berlangsungnya
interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melebihi dua
pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam waktu,
tempat dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang
pedagang dan pembeli di Pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer dan Leoniagustina,
2004: 47).
Percakapan yang tidak menentu (berganti-ganti menurut
situasi), tanpa tujuan ditentukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk
bercakap-cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti tidak disebut
sebagai peristiwa tutur apabila memenuhi delapan komponen tutur, yang
dihuruf-huruf pertanyaan dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING, Delhemes dalam (Chaer dan Leonia Gustina, 2004 :
48) komponen itu adalah:
S = Setting and scene
P = Partisipant
E = End: purpuse and goal
A =
Act sequncs
K =
Key: tenor sepirit of act
I = Instrumentalistis
N = Norm of interaction and interpretation
G =
Genres
Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulaan bahwa komunikasi merupakaan proses pertukaraan informasi antar
indifidu yang berupa simbol, tanda gerak, atau tingkah laku yang umum.
Kemudiam jenis komunikasi di bagi enjadi
dua bagian yaitu verbal dan nonverbal. Komunikasi yang dilakukan manusia pada
umumnya ialah komunikasi verbal, sebuah komunikasi yang dilakukan oleh manusia
yang menggunakaan bahasa lisan yang berupa kata atau kalimat yang terjadi pada
peristiwa tutur itu dipengaruhi oleh tempat dan waktu, pihak yang berkomunikasi,
nada tutur, sarana tutur, jenis tutur. Di daerah Perbatasan khususnya di Pasar
kambing Karangpucung tidak menutup kemungkinan akan terjadi interaksi, karena
daerahnya yang dekat dengan perbatasan maka akan menimbulkan variasi bahasa, dari
variasi bahasa itu akan timbul campur kode dan alih kode sebagai alat komunikasinya,
itu dikarenakan agar komunikasi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar.
Berkpmunikhasi dan berinteraksi tidak akan terlepas pada peristiwa tutur
c.
Jenis Bahasa
Chaer dan Leoni Agustin(2004: 73) menyatakan bahwa berbicara
mengenai variasi bahasa yang berkenaan dengan penutur dan penggunaanya secara
konkrit. Begitulah dalampembicaraan fariasi bahasa itu berkenaan dengan
idiolek, dialek, soiolek, kronolek, fungsolek, ragam dan register. Pembicaran
tentang fariasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak disertai dengan pembicaraan
tentang jenis bahasa yang juga melihat secara sosiolinguistik. Hanya bedanya dalam
pembicaraan jenis ini kita bukan hanya berurusan dengan suatu bahasa, serta
variasinya, juga berusaha dengan sejumlah bahasa baik Yang dimiliki repertoir
suatu masarakat tutur maupun yang dimiliki dan di gunakaan oleh sejumlah
masarakat tutur. Di daerah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat jenis bahasanya
sangat berfariativ. Sebagian kelompok masyarakat ada yang menggunakan bahasa Sunda,
sebagian kelompok masyarakat ada yang menggunakan bahasa Jawa, bahkan ada pula
sebagian masarakat tertentu yang komunikasinya menggunakan bahasa Indonesia.
Jadi jenis bahasa disini membahas tentang jumlah bahasa yang ada di daerah penelitian yaitu yang meliputi:
Bahasa Sunda, bahasa Jawa dan
bahasa Indonesi.
d.
Ragam Bahasa
1)
Pengertian Ragam Bahasa
Chaer dan Leoni Agustina, (2004: 61) mengemukakan variasi
atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik. Sedangkan
variasi itu adanya bentuk yang lebih dari satu
Sumarsono dan Paina Partana, (2002: 31) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variasi atau ragam bahasa merupakan bagian
dari kajian sosiolinguistik sebagai perwujudan interaksi masyarakat bahasa yang
pemakaiannya disesuaikan berdasarkan fungsi, situasi dan perasaan sosial
pemakaian bahasa itu sendiri.
2) Jenis Ragam Bahasa
Bahasa dapat dipandang secara diakronis dan sinkronis.
Secara diakronis, dapat dibedakan tahapan-tahapan bahasa yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu. Secara sinkronis, variasi-vriasi bahasa dapat dibedakan menurut
pemakaian bahasa dan pemakai bahasa. Dari segi pemakai bahasa dialek regional (geografis), (1). Dialek sosial, (2). Dialek
khusus dan, (3). Idiolek. Dari segi pemakaian bahasa, variasi-variasi bahasa
disebut ragam bahasa, yang dapat dibagi menurut bidang pembicaraan, cara
berbicara dan hubungan di antara pembicara (Kridalaksana, 1985: 93).
Chaer dan Leoni Agustina, (2004: 62) membagi variasi
bahasa dari berbagai segi yaitu:
a) Variasi-variasi dari Segi
Keformalan (Situasi)
Berdasarkan tingkat keformalan (situasi) dapat dibagi
atas:
(1)
Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang
digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Ragam resmi
atau formal. Ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam
situasi yang tidak resmi. Ragam ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku
atau standar.
(2)
Ragam usaha atau ragam konsultatif. Wujud ragam usaha ini
berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
(3)
Ragam akrab atau ragam intim, adalah variasi bahasa yang
biasanya digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini
ditandai dengan pengunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan
artikulasi yang sering kali tidak jelas.
(4)
Ragam santai atau ragam kasual. adalah variasi bahasa yang
digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang- bincang dengan keluarga
atau teman akrab.
b) Dari Segi Sarana
Berdasarkan segi sarana
dibagi menjadi dua tingkatan yaitu:
(1) Ragam Lisan, menyampaikan
informasi secara lisan dapat dibantu dengan nada suara, gerak-gerik tangan dan
sejumlah gejala fisik lainya.
(2) Ragam tulisan, dalam
berbahasa tulis lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang disusun bisa
dipahami pembaca.
c) Dari segi penutur
(Pemakai)
Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa
itu, apa jenis kelaminnya dan kapan bahasa digunakan. variasi dari segi penutur
ada variasi yang disebut:
(1)
Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
(2)
Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu.
(3)
Sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang
berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial pada penuturnya.
(4)
Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada zaman tertentu.
d) Dari Segi Pemakaian
Variasi dari segi pemakaian atau penggunaanya berarti
bahasa untuk itu digunakan untuk apa, bidang apa, apa jalur dan alatnya dan
bagaimana situasi keformalannya. Variasi bahasa menurut penggunaannya
pemakaiannya fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi bahasa
berdasarkan bidang pemakain menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan atau bidang apa, sehingga
muncullah beberapa ragam bahasa,
seperti:
(1) variasi bahasa atau ragam bahasa sastra,
(2) ragam bahasa jurnalistik,
(3) ragam bahasa militer,
(4) ragam bahasa ilmiah,
(5) ragam bahasa niaga atau perdagangan (ragam jual beli).
Menurut Soeparno, (2002: 71-78) ragam bahasa atau variasi
bahasa, dapat dibedakan atas:
(1)
Variasi kronologis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh
keurutan waktu atau masa (kronolek).
(2)
Variasi geografis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh
faktor geografis atau regional(varia regional).
(3)
Variasi sosial yaitu
variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan sosiologis (sosiolek).
(4)
Variasi fungsioal yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh
faktor perbedaan fungsi pemakaian bahasa (fungsiolek).
(5)
Variasi gaya yaitu
variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan gaya bahasa (style).
(6)
Variasi kultural yaitu
variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan budaya masyarakatnya.
(7)
Individual yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor
perbedaan perorangan (idiolek).
Dengan demikian variasi bahasa sangat ditentukan oleh
faktor waktu, faktor tempat, faktor sosiokultural, faktor situasi dan faktor
medium pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke
masa. Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat dengan
yang ada di tempat lain atau disebut dialek sosial. Variasi situasional timbul
karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi tertentu
sehingga timbul adanya ragam bahasa formal dan informal. Faktor medium
pengungkapan membedakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam bahasa juga dibagi menurut situasi,
sarana, pemakai dan pemakaian. Sedangkan ragam menurut situasi dibedakan atas
formal dan informal. Sedangakan menurut saran ragam bahasa dibedakan atas
tulisan dan lisan. Menurut pemakaian ragam bahasa dibedakan atas empat (4)
macam yaitu idiolek, dialek, sosiolek dan kronolek. Sedangkan menurut pemakaian
ragam bahasa dibedakan atas ragam jual beli, ragam sastra, ragam jurnalistik,
ragam hukum dan ragam ilmiah sedangkan sosiolek dibedakaan atas pendidikan,
pekerjaan, usia dan jenis kelamin.
e.
Ciri-Ciri Ragam
Bahasa Jual Beli
1). Wujud tuturan penjual dan
pembeli
Menurut kridalksana (2008: 248). Tuturan dapat diartikan wacana yang
menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu, bersama dengan
partisipan dan keadaan tertentu. Sedangkan wuwjud, diartikan sebagai bentuk.
Wujud tuturan penjual dan pembeli di artikan bentuk ujaran penjual dan pembeli.
a). Penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa
Jawa
b). Penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa Sunda
c). Penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia
d). Penjual dominan menggunakan bahasa Jawa Pembeli dominan menggunakan bahasa Sunda
e). Penjual menggunakan bahasa Jawa alih bahasa Sunda pembeli satu
dominan menggunakan bahasa Jawa pembeli dua dominan menggunakan bahasa Sunda
d). Penjual menggunakan bahasa Sunda alih bahasa Jawa
pembeli satu dominan menggunakan bahasa Sunda pembeli dua menggunakan bahasa Jawa
alih bahasa Sunda
2). Pola Interaksi Penjual dan Pembeli
Suharsono, (2003: 5-7) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
bersifat sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi kerja, tujuan interaksi, dan hubungan peranan di
antara penjual dan pembeli, mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada
akhirnya mempengaruhi pula wujud dan bentuk tuturan. Mengenai model interaksi
antara penjual dan pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a). Sifat organisasi,
(b). Tujuan interaksi, (c). Sifat hubungan, (d). Harga.
Model interaksi antara
penjual dan pembeli memiliki ciri-ciri berikut: (a). Memberi peluang pertukaran
kata bersifat goal oriented, tetapi juga untuk mengembangkan hubungan
interpersonal, (b). Hubungan bersifat interpersonal, tidak temporer, (c). Tawar
menawar merupakan bagian tidak terpisahkan dalam interaksi penjual dan pembeli. (d). Masing-masing
pelaku dalam interaksi mengembangkan persuasi
verbal.
3). Tingkat Tutur
a). Pengertian Tingkat Tutur
Tingkat tutur atau disebut dengan istilah undha usuk,
Chaer dan Leoni Agustina, (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang
penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial dikenal dalam bahasa Jawa
dengan istilah undha usuk.
Dijelaskan adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undha
usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa dan bahasa Sunda
tersebut untuk mengetahui terlebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap
lawan bicaranya.
Rahardi, (2001: 52-53) menyebutkan bahwa tingkat tutur dapat
dikatakan sistem kode dalam masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor
penentunya adalah relasi antara si penutur dengan mitra tutur.
b). Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat Tutur
Mengenai berbagai faktor yang menyebabkan adanya bentuk
tingkat tutur, Rahardi, (2001: 53) membagi ke dalam beberapa faktor, yakni
dihormati atau tidak dihomati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan
ekonomi, status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur kekerabatan,
usia, jenis kelamin, dan kondisi psikisnya.
Tingkat sosial para penutur sangat menentukan dalam
menentukan variasi tingkat tutur. Terdapat anggota masyarakat tertentu yang
sangat perlu dihormati, tetapi ada juga golongan masyarakat yang tidak perlu
mendapatkan penghormatan khusus.
Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, Kuntjaraningrat dalam
Chaer dan Leonie Agustina, (2004: 39-40) membagi masyarakat Jawa atas empat
tingkat, yaitu (a) wong cilik (masyarakat biasa), (b) wong sudagar
(golongan pedagang), (c) priyayi (golongan pejabat), (d) ndarar
(golongan orang kaya). Penggolongan di atas jelas adanya perbedaan tingkat
dalam masyarakat tutur bahasa Jawa, berdasarkan tingkat-tingkat sosialnya.
Lebih jelasnya bahwa pihak yang tingkat sosialnya lebih
rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama, dan yang
tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah,
yaitu ngoko.
c). Bentuk-Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Sehubungan dengan undha
usuk (tingkat tutur), bentuk tingkat tutur bahasa Jawa terbagi atas dua,
yaitu krama untuk tingkat tinggi dan ngoko tingkat rendah. Di antara tingkat
ngoko dan krama masih terbagi menjadi beberapa tingkat. Uhlenbeck (dalam Chaer dan Leonie Agustin, 2004: 40)
membagi tingkat variasi bahasa Jawa menjadi tiga, yakni: ngoko, madya, krama.
a)
Tingkat Tutur Ngoko
Tingkat tutur ngoko memiliki rasa yang tidak berjarak
antara penutur dan mitra tutur. Hubungan antar keduanya tidak dibatasi oleh rasa
segan. Bentuk ngoko sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak
memperhatikan kedudukan dan usia.
Menurut Purwadi, (2005: 22), tingkat tutur ngoko dibagi
atas:
(1). Ngoko lugu,
ngoko yang susunan kata-katanya dari ngoko semua adapun kata aku, kowe, dan ater-ater:
dak-,ko-,di-, juga panambang : -ku, - mu, -e, -ake, tidak berubah.
(2). Ngoko andhap,
ngoko andhap dipakai oleh siapa saja yang telah akrab dengan lawan bicaranya
tetapi, masih saling menghormati. Ngoko andhap dibagi menjadi dua, yaitu:
(3) Ngoko andhap aniya-basa
yaitu ngoko andhap yang di dalamnya
terdapat kata-kata serta imbuhan lain kecuali kata-kata dan imbuhan ngoko.
(4) Ngoko andhap
basa-antya yaitu yang didalamnya terdapat kata-kata dari kosakata krama inggil, beberapa kata dari
kosakata krama, disamping kosakata
dan imbuhan krama.
b)
Tingkat Tutur Madya
Tingkat tutur madya
adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat krama dan tingkat tutur ngoko. Kadar kesopanan tigkat tutur
madya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja.
Dengan kata lain tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan
setengah tidak sopan.
Menurut Purwadi, (2005: 28) membagi tingkat tutur madya menjadi tiga yaitu:
1). Madya ngoko,
yaitu kata-kata madya dicampur
kata-kata ngoko.
2). Madya krama,
yaitu kata-kata madya dicampur kata-kata krama.
3). Madyaantara,
yaitu kata-katanya dibentuk dari bahasa madya krama, tetapi kata-kata yang ditujukan pada
orang yang diajak bicara diubah menjadi krama inggil.
c)
Tingkat Tutur Krama
Tingkat tutur krama
adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur
dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat tutur krama menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai
rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan disebabkan karena
relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik (akrab).
Menurut Purwadi, (2005:
33) tingkat tutur krama dibagi atas:
(1)
Mudha Karma bahasa yang luwes untuk
semua orang. Orang yang diajak berbicara di hormati. Adapun dirinya sendiri
yaitu orang yang mengajak berbicara merendahkan diri. Aku diubah menjadi kulo, kowe diubah menjadi panjenengan.
(2)
Kramantara, yakni bahasa yang
dipakai oleh orang tua kepada orang yang lebih muda.
(3)
Wredha Krama, yakni bahasa yang
dipakai oleh orang yang derajatnya sama.
(4)
Krama Inggil, basa krama inggil
kata-katanya dari krama semua
dicampur dengan krama inggil untuk
orang yang diajak berbicara. Krama inggil
biasa digunakaan oleh priyayi cilik kepada priyayi gede. Umumnya bahasa krama inggil terdengar di dalam masyarakat
sekitar Keraton.
d). Bentuk-bentuk Tingkat Tutur
Bahasa Sunda
Menurut Gunardi, dkk, (1996: 8) sama halnya dengan bahasa Jawa
bahasa Sunda mengenal pola tingkat-tingkat bahasa, Yang dipergunakaan untuk
mengekspresikan rasa hormat menurut status pemakaiannya.
Menurut beberapa ahli, undhak-usuk bahasa Sunda dibagi menjadi
beberapa tingkat
Menurut Ardiwinata dan Ayatrohaedi (dalam Gunardi, dkk, 1996: 10).
Menurut Ardiwinata dan Ayatrohaedi bahasa Sunda dibagi
menjadi beberapa tingkatan yaitu:
lemes pisan, lemes biasa, lemes
kersorangan, sedang, songong, songong paranti nyarekan.
Menurut Soria Di Raja, dalam ( Gunardi dkk, 1996: 11) membagi
undak-usuk dalam lima hal: Lemes pian, lemes, sedang, kasar, kasar
pisan.
Menurut R.I. Adiwidjaja (dalam Gunardi 1996: 11). membagi bahasa Sunda
kedalam enam tingkatan: Luhur, lemes,
sedang, panengah, kasar, kasar pisan.
Menurut Djajasudarma (dalam Gugun Gunardi, dkk, 1996: 12)
membagi tingkat bahasa Sunda dalam dua golongan yaitu Kasar, Lemes.
1). Bahasa Kasar
Kasar dapat digunakaan baik bagi partisipan ujaran maupun
yang dibicaraakan; baik penyapa (pembicara/ personal I), pesapa (kawan bicara
personal II) maupun yang dibicarakan (personal III).
2). Bahasa Lemes
(Halus)
Halus ini dipertimbangkaan dari
(1). Halus untuk personal I
(penyapa) misalnya abdi neda’(saya
makan).
(2). Halus untuk personal II
(pesapa), misalnya bapak tuang (bapak
makan).
(3). Halus untuk personal III
(yang dibicarakan), misal ibu guru tuang
“(ibuguru makan).
4). Register
Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register.
Dalam pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah
dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana,
dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk
kegiatan apa (Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 69).
Register merupakan konsep semantik yang dapat
didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang berhubungan secara khusus dengan
susunan situasi tertentu dari medan, pelibat dan sarana (Halliday dan Hasan, 1994:
53. Kemudian dijabarkan bahwa regiser dapat didefinisikan sebagai ragam bahasa
yang digunakan pada saat itu, tergantung pada apa yang sudah dikerjakan dan
sifat kegiatannya. Register itu mencerminkan tingkat sosial dalam arti proses
yang merupakan macam-macam kegiatan sosial yang biasanya melibatkan orang
(Holliday dan Ruqoiya Hasan, 1994: 56).
Holliday dan Ruqoiya Hasan, (1994: 57) juga menyebutkan
register Itu beragam, di satu sisi, terdapat register yang berorientasi pada
kegiatan, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yaitu yang
kadang-kadang disebut bahasa tindakan dan terdapat pula register yang berorientasi
pada bicara, yang kebanyakan isinya bersifat kebahasaan dan tidak banyak hal
lain yang terjadi.
Dari sedikit penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
register adalah jenis ragam bahasa berdasarkan fungsinya yang pemakaiannya
ditentukan oleh sifat dan bidang kegiatan pada saat itu, tergantung peran
sosial masyarakat pemakai bahasa. Register akan terus berkembang sesuai jenis
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kontak bahasa baik komunikasi
maupun berinteraksi satu sama
lain. Pada penelitian ini register yang dimaksud yaitu tentang jenis kambing,
keunggulan kambing, harga kambing dalam transaksi jual beli kambing di Pasar
Tradisional Karangpucung Kabupaten Cilacap. Ciri ragam bahasa jual beli yaitu
yang beupa, wujud tuturan pola/ bentuk interaksi tingkat tutur dan register.
Sedangkan tingkat tutur yang terdapat didaerah Karangpucung Kabupaten Cilacap,
beupa bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
C. Kerangka Berpikir
Wacana jual beli kambing adalah suatu bentuk interaksi
yaitu antara penjual dengan pembeli
yang bersifat informal. Interaksi tersebut tidak terlepas dari pemakaian bahasa
dalam komunikasi baik verbal maupun non verbal dengan tujuan untuk menyampaikan
pesan dari masing-masing penutur.
Bagan kerangka berpikir disini gambaran dari apa yang menjadi
patokan dan teori dalam penelitian ini, agar terlihat sistem matis yang disesuaikan
dengan penelitian kenyataan yang terdapat di daerah penelitian.
Urut-urutankerangka berpikir ini sebagai berikut: Bawa masyarakat bahassa
mengunakan bahasa, dan bahasa di bagi menjadi empat aspek yaitu, pengertian
bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa,ragam bahasa. Kemudian fungsi bahasa,
dibagi menjadi dua aspek yaitu sebagai alat komunikasi dan berinteraksi.
Kemudian wujud dari komunikasi yaitu berupa verbal dan nonverbal. Dari
interaksi itu akan timbul diglosia (variasi bahasa)dan dari variasi bahasa akan
mengakibatkan timbulnya alih kode dan campur kode. Komunikasi verbal yaitu
berupa tulis dan lisan sedangkan nonverbal berupa cahaya dan bunyi. Komunikasi
verbal atau komunikasi yang dilakukan secara lisan yaitu berupa kata,
kalimat,dan peristiwa tutur, (SPEAKING).
Jenis bahasa dalam penelitian dini yaitu berupa bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa
Indonesia. Kemudian rgam bahasa dibagi.menjadi empat faktor yaitu faktor situasi,
sarana, pemakai, dan pemakaian. Dari faktor situasi bahasa yang digunakaan,
formal, dan informal, dari faktor sarana, bahasa tulis dan bahasa lisan, dari
faktor pemakai yaitu, idiolek, dialek, sosiolek, dan kronolek. Ragam bahasa
dari faktor pemakaian di pisahkan atas, ragam jual beli, ragam sastera, ragam
jurnallistik, ragam hukum, dan ragam ilmiah. Ragam bahasa menurut pemakai pada
sosiolek yaitu dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, dan usia.
Kemudian yang mencakup kedalam ciri-ciri ragam bahasa jual beli yaitu berupa,
wujud bahasa/tuturan penjual dan pembeli, pola/bentuk interaksi, tingkat tutur,
dan register. Kemudian tingkat tutur yang terdapat didaerah Perbatasan Jawa
Tengah-Jawa Barat diklasifikasikan menjadi dua yaitu yang berupa bahasa Jawa
dan bahasa Sunda. Bahasa jawa berupa, krama
madaya, madya, dan ngoko. Sedangkan tingkat tutur bahasa Sunda
dibagi atas, kasar, panengah, halus
sedang. Kemudian register dalam penelitian ini berupa, haraga kambing,
jenis kambing, dan keunggulan kambing.
maaf untuk kerangka perikirnya tidak bisa saya masukan soalnya tidak cukup dalam halaman bloger ini,dan pembahasan juga tak bisa saya tampilkan
MAAY YA.............................
Saya lanjutkan lagi dngan penutup
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif maksudnya adalah membuat gambaran, lukisan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat dan hubungan
fenomena yang diteliti (Sudaryanto, 1993:8).
Di dalam penelitian
bahasa, metode penelitian deskriptif cenderung digunakan dalam penelitian
kualitatif. Jenis penelitian ini dikatakan sebagai pencarian data dengan
interpretasi yang tepat, terutama dalam mengumpulkan data, serta menggambarkan
data secara ilmiah. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena
sosial termasuk fenomena kebahasaan yang telah diteliti
B.
Tempat Penelitian
Tempat pengambilaan data ini
yaitu di daerah Karangpucung, Kabupaten cilacap tepatnya di pasar taradisional
Karangpucung (pasar hewan). Pasar hewan ini beroprasai tidak setiap hari tetapi
hanya satu minggu dua kali yaitu hari Rabu dan hari Minggu.
A.
Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini berbentuk tuturan yang diperoleh
dari peristiwa tutur antara penjual dan
pembeli dalam peristiwa komunikasi jual beli (tawar menawar) kambing di Pasar
Tradisional Karangpucung, Kabupaten
Cilacap yang sungguh-sungguh terdapat dalam masyarakat bahasa. Bahasa merupakan
objek penelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi subjek
dalam penelitian ini.
2. Sumber data
Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli kambing penelitian, yang melakukan transaksi jual beli
kambing di Pasar Tradisional Karangpucung, Kabupaten Cilacap yang dilakukan
bulan Januari 2010.
B.
Metode Penelitian
1. Tahap Penyediaan Data
Penyediaan data merupakan upaya peneliti menyediakan data
secukupnya. Data di sini dimengerti sebagai fenomena lingual khusus yang
mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud.
Dalam tahap penyediaan data, sekurang-kurangnya melalui
tiga tahapan kegiatan, yaitu: 1) mengumpulkan yang ditandai dengan pencatatan,
2) pemilihan dan pemilah-milah dengan membuang yang tidak perlu, 3) pendataan
menurut tipe atau jenis terhadap apa yang telah di catat, dipilih dan dipilah-pilahkan
itu (Sudaryanto, 1993: 11)
Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak, yaitu
cara yang digunakaan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan
bahasa, dengan menggunakan teknik sadap sebagai teknik dasarnya. Sebagai teknik
lanjutannya menggunakan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC ) bahwa peneliti
terlibat dalam dialog, konversasi atau timbal wicara: jadi, ikut serta dalam
proses pembicaraan orang yang saling berbicara, dan menggunakan teknik rekam
memakai head phone (HP) sebagai
alatnya. Kemudian semua rekaman yang telah diperoleh ditrankripsi secara
fonemis diteruskan dengan klasifikasi data sebagai langkah akhir tahap
penyediaan data.
2. Tahap Analisis Data
Menurut Sudaryanto 1993, 21:26) metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik tehnik pilihan unsur penentu (pup).
Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah - pisahkan dibagi menjadi berbagai unsur
itu maka daya pilah itu dapat
disebut daya pilah referensial, daya pilah otografi dan daya pilah
pragmatik yang disesuaikan dengan
sifat atau watak unsur penentu itu masing
- masing.
3. Tahap Penyajian
Hasil Analisis
Tahap ini merupakan upaya peneliti menampilkan dalam
bentuk laporan tertulis mengenai apa yang telah dihasilkan dari kerja analisis,
khususnya kaidah. Mengenai cara metode penyajian kaidah tersebut sebagai hasil
analisis disajikan penulis menggunakan metode penyajian informal. Metode
penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (a natural
language) (Sudaryanto, 1993:
144).
A. bahasa Simpulan Hail Analisis
1.
Wujud tuturan penjual dan pembeli mencakup.
a.
Penjual
dan pembeli dominan menggunakan bahasa Jawa.
Dalam peristiwa tuturnya penjual dan
pembeli dalam berinteraksi menggunakan bahasa jawa. Karaena keduanya berasal
dari latar belakang yang sama sehingga dalam berinteraksi menggunakaan bahasa
jawa.
b.
Penjual
dan pembeli dominan menggunakan bahasa Sunda.
Dalam periistiwa tutur atara penjual dan pembeli kambing menggunakaan
bahasa sunda itu dikarenakan latar belakang yang sama dan letak geografis yang
sama yaitu berasal dari daera yang penggunaan dialeknya menggunakan sunda.
c.
Penjual
dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada tuturan ini penjual dan pembeli mengunakan bahasa indonesia itu
dikarenakan latar belakangnya yang berbeda yaitu berasal dari luar daerah
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Taengah dan bahasa yang digunakan pun
menggunakaan bahasa sunda.
d.
Penjual
dominan menggunakan bahasa Jawa, pembeli dominan menggunakan bahasa Sunda.
Penjual menggunakan bahasa Jawa alih bahasa Sunda pembeli 1 dominan menggunakan
bahasa Jawa, Pembeli 2 dominan menggunakan bahasa Sunda.
Pada peristiwa tutur tersebut menggunakaan bahasa campuran kode, Jawa dan
Sunda, itu dikarenakaan karena latar belakang penjual dan pembeli berbeda dan
dialek yang digunakanpun berbeda.
e.
Penjual
menggunakan bahasa Sunda alih bahasa Jawa,
pembeli satu dominan menggunakan bahasa Sunda,
pembeli dua dominan menggunakan bahasa Jawa alih bahasa Sunda.
Pada peristiwa tutur ini keduanya mengalami peralihan dialek itu
dikarenakaan bahasa yang digunakaan berbeda. Tetapi komunikasinya tetap
berjalan karena masarakat perbatasan menguasai dialek lebih dari dua multylingul.
f.
Penjual
Dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa
Campur Kode bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Pada peristiwa tutur ini keduanya mengalami peralihan dan mencampurkan
bahasadalam komunikasi, itu dikarenakaan bahasa yang digunakaan berbeda dan
latar belakang si penutur berbeda sehingga dalam berkomunikasi menggunakan
bahasa campuran. Tetapi komunikasinya tetap berjalan karena masarakat
perbatasan menguasai dialek lebih dari dua
multylingul.
g.
Penjual dan Pembeli Menggunakan Bahasa Campur Kode,
Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
Dengan demikian wujud tingkat tutur
penjual dan pembeli kambing di Pasar Tradisional Karangpucung Kabupaten Cilacap
memiliki tuturan yang beragam,
disesuikan dengan lawan tutur (mitra tutur).
2. Wujud tingkat tutur jual beli kambing di
Pasar Tradisional Karangpucung-Kabupaten Cilacap.
a. Pembeli
Memberi Peluang Pertukaran Kata
Disini dapat diartikan bahwa yang mengawali
interaksinya adalah pembeli (starting
exchange).
b. Penjual Memberi Peluang Pertukaran Kata
Disini dapat diartikan bahwa yang mengawali
interaksi terlebih dahulu adalah penjual (starting exchange).
c. Tujuan Transaksi Tidak Terlepes Pada
Transaksi Ekonom Semata Tetapi Bersifat Goal
Orientid Juga Untuk Mengembangkan Interpersonal.
Disini dapat diartikan bahwa penjual dan pembeli
melakukan tawar menawar barang agar dapat meminimalkan barag yang di jual dan
barang yang di beli. Penjual ingin memperoleh keuntungan (laba) begitu
pula pembeli ingin memperoleh harga yang
murah, dan juga dapat di artikan untuk mengembangkan relasi bersifat sosial
dengan cara menunjukan keakraban
pembeli.
d. Hubungan
Penjual Dengan Pembeli Bersifat perSonal Tidak Tenporer.
Disini dapat di artikan bahwa interaksi antara
penjual dan pembeli memelihara hubungan sosial yang bersifat positif yang
mengarah kesuatu kerjasasama yang tujuanya melakukan pendekatan-pendekatan
seperti menawarkan jenis barang, memberi kebebasan untuk memilih barabng
menayakan barang yang mau dibelinya sudah mencakup atau belum.
e. Tawar Menawar Bagian-Bagian yang Tidak
Terpisahkan Dalam Transaksi Penjual dan Pembeli.
Disini
dapat diartikan bahwa Terjadi tawar menawar karena penjual menginginkan
daganganya terjual dengan harga tinggi, sedangkan pembeli menghendaki membeli
barang dengan harga murah.
f. Penjual Dalam Interaksi Mengembangkan Persuasi
Verbal
Disini dapat di artikan bahwa untuk mempertahankan
harga barang dengan cara menonjolkan kwalitas barang dan untuk mempengaruhi
pembeli supaya mau membeli barang yang di tawarkan dengan cara membujuk.
g. Pembeli dalam interaksi mengembangkan Persuasi verbal
Disini
dapat diartikan bahwa pembeli mengembangkan bentuk persuasi verbal yang bertujuan untuk menurunkan harga barang
dengan cara menonjolkan kekurangan barang dan membandingkan harga barang di
tempat tersebut dengan di tempat lain.
h. Pelaku
Interaksi Mengakhiri Pertukaran Kata
Disini
dapat di artikan dalam dua hal:
a)
Pembeli
telah memperoleh barang yang diinginkan/sesuai dengan apa yang diharapkan.
b)
Pembeli
kurang pas dengan barang yang diinginkan dan pembeli kurang pas dengan harga
yang di tawarkan penjual.
3. Tingkat Tutur Penjual dan Pembeli
Kambing di Pasar Tradisional Karangpucung-Kabupaten Cilacap.
Tingkat tutur penjual dan pembeli kambing di pasar
tradisional karang pucung di
klasifikasikan sebagai berikut.
a.
Penjual
dan Pembeli Dominan Menggunakaan Bahasa Jawa
Tingkat tutur bahasa Jawa di klasifikasikan sebagai berikut.
(1)
Penjual
Menggunakan Tingkat Tutur Ngoko Pembeli Menggunakan Tingkat Tutur Ngoko.
Disini dapat diartikan bahwa penjual dalam melayani pembeli menggunakan
bahasa Jawa ngoko dan pembeli dalam menawar kambing menggunakan tingkat tutur
ngoko, dalm bertutur keduanya tidak menunjukan rasa segan atau “pakewuh” karena disebabkan faktor umur
yang masih sebaya dan bahasa yang digunakan dalam berinteraksi sama/satu
daera.
(2)
Penjual Menggunakan Tingkat Tutur Krama dan Pembeli Menngunakan Tingkat
Tutur Ngoko
Disini dapat diartikan bahwa
penjual dalam melayani pembeli menggunakan tingkat tutur kramakarena disebabkan
ingin menunjukan kesopanan kepada pembeli dan umur penjual lebih muda dari pada
pembeli, pembeli menggunakan tingkat tutur ngoko karena umur pembeli lebih tua
dari penjual.
(3)
Penjual
Menggunakan Tingkat Tutur Krama dan Pembeli Menggunakan Tinggkat Tutur Krama
Disi dapat diartikan bahwa penjual dalam berkomunikasi menggunakan tingkat
tutur krama bertujuan agar pembeli merasa lebih di
hormati sehingga mau membeli barang yang ditawarkan atau menarik simpatik
pembeli, sedangkan pembeli menggunakaan tingkat tutur krama karena pembeli
menghormati penjual yang sudah bersikap sopan dalam melayani.
b.
Penjual
dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa Sunda
Tingkat tutur antara penjual dan pembeli kambing di pasar tradisional
karangpucung diklasifikasikan sebagi berikut.
(1)
Penjual
Menggunakan Tingkat Tutur Sunda Sedang dan Pembeli Menggunakan Tingkat Tutur Sunda
Sedang
Disini dapat diartikan bahwa dari faktor ke akraban, karena mereka sudah
saling mengenal satu sama lain tidak hanya itu pembeli menggunakan bahasa Sunda
sedang itu dikarenakan usia penjual setara dengan pembeli dan dari faktor
bahasa daerah yang digunakn sama itu juga bisa mengakibatkan mereka akrab dan saling
menghormati.
(2)
Penjual
Menggunakan Tingkat Tutur Sunda kasar
dan Pembeli Menggunakan Tingkat Tutur Sunda kasra
Disini dapat di artikan bahwa keduanya tidak mempunyai rasa segan karena
keduanya sudah saling mengenal atau akrab dan memiliki bahasa daerah yang sama
sehingga keduanya menggunakan bahasa Sunda kasar dalam berinteraksi dan juga disebabkan
faktor umur yang masih sebaya.
(3)
Penjual
Menggunakan Tingkat Tutur Sunda sedang dan Pembeli Menggunakan Tingkat Tutur Sunda
kasar
Disini dapat diartikan bahwa penjual menggunaka tingkat tutur Sunda sedang
itu dikarenakan faktor usia karena penjual menghormati pembeli yang umurnya
lebih tua. Dan pembeli menggunakan tingkat tutur Sunda kasar karena merasa
dirinya usianya lebih tua dari penjual.
4. Register Jual Beli Kambing
Register jual beli kambing disini mencakup harga
dalam bahasa Sunda dan Jawa, jenis kambing, keunggulan kambing. Tetapi dalam
registerini yang paling banyak yaitu harga yang berupa bilangan.
B. Saran
Untuk penelitian-penelitian selajutnya
diharapkan mampu mengembangkan lebih lengkap lagi tentang bentuk - bentuk
kebahasaan tidak hanya ciri ragam bahasa
saja akan tetapi agar mampu mengembangkan tentang kata, kalimat, frasa dan
klausa yang ditemukan dalam suatu tuturan.
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leni Safyahya. 2007. Pengantar
Sosiolinguistik. Bandung:
Refika Aditama.
Budi, Mawar Setiyo. “Ragam Bahasa Komunikasi Jual
Beli Sandang di Pasar Kota
Banjar Negara “; Kajian Sosiolinguistik. Skripsi.
Purwokerto: Universitas Muhamadiah Purwokerto.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal, Jakarta:
Rineka Cipta.
Gunardi Gugun dan Idat Abdulwahid. 1996. Undak Usuk dan Dampaknya dalam Berperilaku
Bahasa Sunda. Jakarata: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Haliday dan Ruqoiya Hasan. 1994. Bahasa kontek
dan teks,aspek-aspek dalam pandangan semiotik sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
_________
. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jajasudarma,
Fatimah, 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.
Bandung : ERESCO.
Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi
Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah.
Mahsun,
M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Garafindo Persada.
Nababan.
1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta. Granedia pustaka utama.
Nugroho,
Eko. 2004. “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Sapi di Pasar Petambakan Kecamatan
Madukara Banjar Negara”. Skripsi.
Purwokerto: Universitas Muhamadiah Purwokerto.
Pateda,
Mansur.1992. Sosiolinguistik. Bandung
Angkasa.
Pomiati,
Septiaji. 2001. “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi di Pasar Pagi Pemalang Kajian
Sosiolinguistik “.Skripsi.
Purwokerto: Universitas Muhamadiah Purwokerto.
Purwadi,
dkk.2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta : Media Abadi.
Soeparno.2002.
Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Suharsono.
2003. Register Tawar Menawar pada Warung Penjaja Buah-buahan Yogyakarta: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan
Sastra Indonesia (PIBSI) XXV.
Sumarsono
dan Paina Partana.2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Swasta,
Basu. l996. Azas-Azas Marketing. Yogyakarta: Liberti Yogyakarta.
Uchjana,
Onong dan Effendi. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.